Laman

Kamis, 22 Oktober 2015

Sejarah Al Muayyad

Al-Muayyad merupakan pondok pesantren Al-Quran, yang dirintis tahun 1930 olen K.H. Abdul Mannan bersama K.H. Ahmad Shofawi dan Prof. K.H. Moh Adnan dan ditata sistemnya ke arah sistem madrasah tahun 1937 oleh KH. Ahmad Umar Abdul Mannan. Pembelajaran Al-Quran itu kemudian sistem madrasah dilengkapi dengan Madrasah Diniyyah (1939), MTs dan SMP (1970), MA (1974), dan SMA (1992) dalam lingkungan pondok pesantren.
Pesantren ini berlokasi di kota Surakarta yang merupakan sentra perdagangan batik dan produk tekstil lainnya, pendidikan, budaya Jawa, tempat kelahiran tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi pergerakan nasional. Secara geografis merupakan kawasan perlintasan antarkota penting di Jawa. Sejarah modernnya dimulai sejak perpindahan Kraton Kartasura ke desa Sala yang kemudian menjadi Surakarta pada tahun 1745.
Sebagai pesantren Al-Quran tertua di Surakarta, Al­-Muayyad terpanggil untuk menguatkan dan mengembangkan diri, berangkat dalam kearifan masa silam untuk menjangkau kejayaan masa depan dengan konsep tarbiyah yang utuh. Mempertimbangkan pengalaman Surakarta yang direkam Al-Muayyad sejak masa rintisannya, maka Al ­Muayyad memandang bahwa pendidikan bagi generasi muda muslim haruslah memenuhi 4 (empat) kriteria kecakapan:
  1. Kecakapan Al-Quran sebagai dasar utama ajaran agama Islam;
  2. Kecakapan keilmuan baik ilmu-ilmu yang langsung untuk mendalami ajaran agama dari kitab-kitab kuning beserta ilmu penunjangnya maupun untuk mencerdaskan kehidupan (sains).
  3. Kecakapan humaniora yang memampukan santri untuk hidup secara arif melalui bahasa, sastra, tarikh, dan kebudayaan.
  4. Kecakapan transformatif yang menguatkan bakat para santri untuk kreatif mengalihgunakan ilmu ke dalam praktek kehidupan sehari-hari yang bermartabat.
Generasi Pertama

Al-Muayyad dirintis tahun 1930 oleh Simbah K.H. Abdul Mannan di atas tanah seluas 3.500 m yang dijariyahkan oleh K.H. Ahmad Shofawi di kampong Mangkuyudan kelurahan Purwosari kecamatan Laweyan kotamadya Surakarta. Semula merupakan pondok pesantren dengan corak tasawuf; pesantren dengan kegiatan utama latihan pengamalan syari’at Islam dan belum melakukan pendalaman ilmu-ilmu agama secara teratur. Titik beratnya melatih para santri dengan perilaku keagamaan. Pengajian yang diselenggarakan berkisar pada akhlak.
Cita-cita untuk menyebarluaskan agama Islam sudah tertanam sejak Simbah K.H. Abdul Mannan masih nyantri pada Kiai Amad di Kadirejo, Karanganom, Klaten bersama K.H. Ahmad Shofawi.
Nama kecil Simbah K.H. Abdul Mannan adalah Tarlim, sebagaimana diberikan oleh ayahandanya, Kiai Chasan Hadi, yang seorang demang di Glesungrejo, Baturetno, Wonogiri.Setelah diterima nyantri di Kadirejo diganti oleh Kiai Ahmad menjadi Buchori. Dan usai menunaikan ibadah haji tahun 1926, menjadi Abdul Mannan.
Tarlim kecil, 8 tahun, berangkat ke pondok berjalan kaki dari kediaman orang tuanya, menempuh jarak tak kurang dari 108 km di Kadirejo, Karanganom, Klaten. Setibanya di pondok, dihadang oleh Kiai Ahmad di gerbang dan langsung ditempatkan di bekas kandang ayam. Lewat tiga hari baru dipanggil Kiai untuk diminta kejelasan maksud kedatangannya. Karena untuk nyantri, sang Kiai memberikan syarat agar Tarlim, yang baru delapan tahun ini, membangun sumur, bak mandi, dan kamar mandi sendirian tanpa bantuan seorangpun. Tugas mulia tetapi sangat berat itu diselesaikannya dalam waktu 18 bulan. Setelah semua selesai, baru diizinkan mengikuti pengajian Kiai Ahmad.
Selama nyantri, Tarlim yang menjadi Buchori selalu mengisi bak mandi Kiai yang dibangunnya sendir. Tiap dini hari sebelum subuh, bak mandi diisi penuh, perlahan-lahan, tanpa suara, tanpa sepengetahuan orang lain. Bak yang sudah penuh tetap didisi sampai airnya menyebar sebagaimana air yang tumpah dari bak, memberikan manfaat yang menyejukkan kepada sesama.
Di pondok itulah tumbuh persahabatan antara beliau dengan K.H. Ahmad Shofawi, santri putra hartawan sholeh. Keduanya memiliki cita-cita tinggi. Dan keduanya juga dikenalwira’i (cermat dan hati-hati menjalankan syari’at), suka riyadlah (prihatin demi cita-cita luhur) serta taat kepada guru dan kiai.
Buchori remaja bercita-cita menjadi hafidzul Qur’an dan menyebarluaskan ilmu agama Islam ke masyarakat. Idaman menjadi penghafal Al Quran tidak bisa terwujud. Hal ini disyaratkan oleh Kiai Ahmad saat menenangkan Buchori yang menangis mengikuti semaan Al-Quran yang menampilkan remaja hafidzul Qur’an berusia 11 tahun. Isyarat Kiai Ahmad, kelak anak keturunannyalah yang mampu mewujudkan cita-cita itu. Dan benar, tiga putra dan tiga putrid beliau berhasil menjadi hafidz dan hafidzah, lima di antaranya ketika beliau masih hidup. Sementara K.H. Ahmad Shofawi memiliki tiga cita-cita; yaitu berkediaman di dekat (mangku) masjid, menunaikan ibadah haji dengan kapal berbendera Islam, dan memiliki anak-anak yangmangku
(mengasuh) pondok pesantren. Ketiga cita-cita itu tercapai. Bahkan beliau mampu mendirikan/membangun Masjid Tegalsari di kampung Tegalsari kelurahan Bumi kecamatan Laweyan, Surakarta, tahun 1928, dengan arsitektur dan bahan lain yang amat tinggi nilainya. Arsitek masjid itu adalah K.H.R. Prof. Mohamad Adnan yang juga pendiri PTAIN yang kini menjadi IAIN. Masjid yang seluruh lantainya marmer itu dibangun dengan modal sisa ongkos naik haji yang diberikan beliau kepada tiga ulama’ dua tahun sebelumnya, yaitu K.H. Abdul Mannan. Dua tokoh terakhir ini adalah putra menantu K.H. Ahmad Shofawi.
K.H. Ahmad Shofawi menunaikan ibadah haji dengan kapal yang dicarter oleh Pakistan, dan berbendera Islam. Kaitannya dengan cita-cita yang kedua, akhirnya putra beliau, K.H. Abdul Rozaq Shofawi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad menggantikan pamandanya (pakde) K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan yang wafat tahun 1980 dibantu oleh kedua adik beliau, K.H. Abdul Mu’id Ahmad dan H. Muhammad Idris Shofawi. Sementara putri bungsu beliau, Nyai H. Siti Maimunah Baidlowi, mendampingi suaminya mengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabo, Tanggungharjo, Grobogan.
Dalam generasi pertama ini ilmu-ilmu agama yang dikaji masih tingkat dasar dan belum teratur, karena para santrinya masih terbatas pada kerabat dekat dan karyawan Perusahaan Batik “Kurma” milik K.H. Ahmad Shofawi. Pada masa ini para kiai pendukungnya antara lain Kiai Dasuki, Kiai Hanbali, K.H. Ahmad Asy’ari, K.H. Ahmad Shofawi sendiri, dan Damanhuri (seorang pengelana dari Cilacap). Kiai Damanhuri inilah yang memberikan isyarat, saat K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan masih nyantri di pondok-pondok pesantren, bahwa kelak Mangkuyudan akan menjadi pesantren besar.


Generasi Kedua

Hanya tujuh tahun Simbah K.H. Abdul Mannan memimpin pesantren, sebab tahun 1937 kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putranya, K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan, yang waktu itu baru berusia 21 tahun, sekembali dari belajr di pesantren-pesantren: Krapyak (Yogya), Termas (Pacita), dan Mojosari (Nganjuk). Mulailah Al-Muayyad sebagai sebuah pondok pesantren dengan kurikulum yang menitikberatkan pada pendalaman ilmu-ilmu agama Islam.
Pada tahun 1939, pengajian Al-Quran dan kitab kuning makin teratur, sehingga dipandang perlu mendirikan Madrasah Diniyyah. Sekalipun beberapa madrasah/sekolah kemudian menyusul didirikan. Karena pengajian Al-Quran menjadi inti pengajaran, sehingga Al-Muayyad dikenal sebagai Pondok Al-Quran. K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan sendiri dikenal sebagai ahli di bidang Al-Quran dengan sanad (silsilah ilmu) dari K.H.R. Moehammad Moenawwir, pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Nama Al-Muayyad diberikan oleh seorang ulama besar, guru/mursyid Thariqah Naqsabandiyyah, yang bernama K.H.M. Manshur, pendiri Pondok Pesantren Al ManshurPopongan, Tegalganda, Wonosari, Klaten. Semula nama ini untuk masjid di kompleks pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama semua lembaga dan badan di lingkungan pondok pesantren. Al-Muayyad dari kata ayyada yang berarti menguatkan. Secara harfiah Al-Muayyad berarti sesuatu yang dikuatkan. Tafa’ul atau harapan yang tersirat di dalamnya adalah pondok pesantren yang dikuatkan/didukung oleh kaum muslimin.
Sejalan dengan meluasnya program pendidikan, para kiai yang mendukungpun bertambah. Tercatat antara lain: K.H. Abdullah Thohari, Kiai Ahmad Muqri, Kiai Idris, Kiai Danuri, KIai Sono Sunaro, K.H.RNg. M. Asfari Prodjopudjihardjo (Mbah Bei), K.H.M. Shodri, K.H. Moh. Yasin, K.H.R. Moh Jundi, K.H.M. Suyuthi, K.H. Abdul Ghoni Ahmad Sadjadi, K.H. Mochtar Rosyidi, Kiai M. Rofi’I, dan K.H. Ahmad Musthofa yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren Al Qur’anydi sebelah utara Al-Muayyad.
Sebagai pesantren yang dirintis dan tumbuh di masa perjuangan kemerdekaan, riwayat panjang menyertai Al-Muayyad. Waktu itu banyak santri dan kiai yang malam hari ikut bergerilya, sementara siang hari sibuk mengaji dan belajar. Sebagian besar juga turutkhidmat/kerja bakti sukarela sebagai tukang dalam membangun masjid, asrama santri, dan fasilitas pesantren lainnya.
Masjid di tengah kompleks Al-Muayyad, dibangun mulai bulan Maret 1942, bersamaan dengan kedatangan balatentara Jepang di tanah air. Batu penyangga keempat tiang utama (saka guru) masjid ini berasal dari saka guru bekas kediaman Pangeran Mangkuyudha. Tahun1947 dibangun asrama putra dengan 12 kamar. Begitu selesai, meletus Agresi Belanda I. para santri dan kiai pejuang mendapatkan informasi bahwa Tentara Pendudukan akan menjadikan asrama santri itu sebagai barak.
Kiai-kiai sepuh menasihati agar para santri tabah dan bersedia berkorban. Bangunan permanen yang masih baru tersebut terpaksa dirusak agar tak layak huni. Dengan berat hati para santri memecah genting, mendongkel pintu dan jendela, mengikis dan mencoret-coret tembok dengan arang, memiringkan tiang-tiang, dan bahkan mananami halaman dengan rumput, singkong, dan sayuran secara tidak teratur untuk menempatkan kesan bahwa pondok itu tak layak huni sebagai barak tentara. Dan benar, asrama tersebut tidak jadi digunakan sebagai barak. Dalam situasi yang secara sembunyi-sembunyi dengan penerangan lampu kecil minyak tanah (ublik).
Justru karena letaknya di tengah kota dan sarat dengan nuansa keagamaan, Al-Muayyad tidak tampak sebagai tempat berhimpun para pejuang, baik yang bergabung dalam kesatuan Hizbullah, Sabilillah, maupun Barisan Kiai.
Setelah situasi tenang dengan kemenangan dipihak Tentara Nasional Indonesia, tahun 1952, asrama tersebut dibangun kembali. Masjid diperluas hingga hampir dua kali lipat. Para santri berdatangan dari berbagai daerah yang lebih jauh. Namun situasi tenang ini tidak berlangsung lama, sebab agitasi PKI tahun 1960-an membangkitkn suasana perjuangan di kalangan santri dan kiai Al-Muayyad. Pondok menjadi ajang pelatihan Banser (Barisan Ansor Serbaguna) dan Fatser (Fatayat Serbaguna).
Tragedi nasional G30S/PKI tahun 1965, sempat melumpuhkan kegiatan mengaji para santri. Sebagian aktif bersama-sama ABRI menumpas G30/SPKI, dan sebagian lagi diminta pulang untuk menjaga keamanan. Alhamdulillah tragedi berakhir dan suasana tenang kembali tercipta.
Refleksi atas sejarah tersebut melatarbelakangi para santri dan pengasuh Al-Muayyad untuk menyebut almamaternya sebagai Kampus Kader Bangsa Indonesia (KKBI).
Ciri khas K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kepemimpinan adalah kuatnya kaderisasi para kerabat, ustadz, dan santri dengan membagi tugas dan tanggung jawab kepesantrenan kepada mereka. Beliaulah yang memprakarsai pembentukan Lembaga Pendidikan Al-Muayyad (yang kemudian menjadi yayasan), penyelenggaraan Pelatihan Teknis Tenaga Kependidikan bagi sekolah/madrasah Ahlussunnah wal jama’ah dan Pekan Pembinaan TugasAhlussunnah wal jama’ah (PEPTA). Dimasa beliau pula Al-Muayyad menjadi anggota Rabithah al Ma’ahid al Islamiyyah (RMI/Ikatan Pondok Pesantren) dengan Nomor Anggota: 343/B Tanggal: 21 Dzul Qa’dah 1398 H/23 Oktober 1978 M di bawah pimpinan K.H. Achmad Syaikhu.

Generasi Ketiga

           Setelah K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan wafat tahun 1980, dalam usia 63 tahun, kepemimpinan Al-Muayyad diserahkan kepada K.H. Abdul Rozaq Shofawi. Beliau nyantri di Krapyak Yogyakarata di bawah asuhan K.H. Ali Maksum sambil kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga dan juga pada K.H. Hasan Asy’ari Mangli Magelang. Selesai nyantri pada Mbah Mangli, tepat tiga tahun, K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan wafat.
Ibunda K.H. Abdul Rozaq Shofawi adalah Nyai Siti Musyarrofah binti K.H. Abdul Mannan, seorang hafidzah pada usia 16 tahun, yang diperistri K.H. Ahmad Shofawi setelah istri pertama wafat. Dari pernikahan itu lahir K.H. Abdul Rozaq Shofawi, Nyai H. Siti Mariyah Ma’mun, dan Siti Mun’imah yang wafat pada usia 35 hari, 30 hari setelah ibunda wafat.
Setelah Nyai Siti Musyarrofah wafat K.H. Ahmad Shofawi memperistri Nyai H. Shofiyah binti K.H. Ahmad Mu’id dan menurunkan K.H. Abdul Mu’id Ahmad, H. Muhammmad Idris Shofawi, serta Nyai H. Siti Maimunah Baidlowi.
Atas nasihat K.H. Muhammad Ma’shum Lasem Rembang, sepeninggal K.H. Ahmad Shofawi, Nyai H. Shofiyah diperistri oleh K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan. Pernikahan ini tidak dikaruniai seorang putrapun.
Termasuk kejadian penting yang selalu diingat dalam generasi ketiga ini adalah terbakarnya kompleks pondok tanggal 31 Agustus 1982, 15 hari sebelum keberangkatan pengasuh dan tujuh sesepuh Al-Muayyad ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, yang menghabiskan 13 kamar santri, dapur santri, kediaman pengasuh, dan perpustakaan K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan yang menghimpun ribuan kitab dan bahan pustaka yang tak ternilai harganya. Musibah besar ini mengundang simpati besar masyarakat yang bergotong royong memberikan penampungan, keperluan makan minum, dan keperluan sekolah bagi 275 santri putra yang kehilangan tempat tinggal dan perlengkapannya. Masyarakat juga bahu membahudengan pengurus merehabilitasi asrama dan kediaman pengasuh, sehingga dalam waktu 40 hari bangunan-bangunan itu telah pulih kembali.
Dalam generasi ketiga inilah, Al-Muayyad melestarikan sistem kepesantrenan yang diidam-idamkan dan dikembangkan oleh dua generasi pendahulu. Yayasan yang menjadi tulang punggung manajemen pesantren diaktifkan, sehingga pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab para pengelola bisa dibakukan. Dengan pola semacam itu, Al-Muayyad berkeinginan mampu mewadahi dukungan masyarakat luas bagi penyiapan generasi muda dalam wadah pesantren dengan manajemen terbuka, karena pesantren sesungguhnya milik masyarakat.
Secara singkat tahap-tahap perkembangan Pondok Pesantren Al-Muayyad adalah sebagai berikut:
1930-1937 : Pengajian Tasawuf
1937-1939 : Pengajian Al-Quran
1939 : Berdiri Madrasah Diniyyah
1970 : Berdiri MTs dan SMP
1974 : Berdiri Madrasah Aliyah
1992 : Berdiri Sekolah Menengah Atas
1995 : Berdiri Madrasah Diniyyah Ulya
Dengan demikian memusatnya sistem pendidikan nasional pada Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan untuk mengembangkan rintisan serta ikhtiar mewujudkan idaman K.H. ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kurikulum, maka diselenggarakan Lokakarya Kurikulum Al-Muayyad pada bulan September 191 yang menjadi Madrasah Diniyyah Al-Muayyad sebagai tulang punggung tafaqquh fid-din
(pendalaman ilmu-ilmu agama).
Madrasah Diniyyah ini bersama-sama pengajian Al-Quran, sekolah dan madrasah berkurilkulum nasional, serta kegiatan kepesantrenan lainnya, menempatkan Al-Muayyad dalam keaktifan dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia, khususnya di bidang pendidikan, sejalan dengan panggilan untuk menyerasikan pola pesantren dengan system pendidikan nasional.
Untuk menjawab tantangan pembangunan nasional mendatang, pondok pesantren ini dituntut terus mengembangkan diri. Lahan di kompleks Mangkuyudan yang hanya seluas 3.650 m2 sudah tidak memadai lagi untuk mewadahi perkembangan jumlah santri dan satuan pendidikan yang dirintis, sehingga dukungan besar dari semua pihak sangat diperlukan.

Pengembangan di Windan

            Tanggal 18 Nopember 1994 K.H. Abdul Rozaq Shofawi mendapatkan infornasi bahwa sebuah kompleks di kampung Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo (kurang lebih 4 km sebelah barat Mangkuyudan) yang semula dipergunakan untuk penyelenggaraan pondok pesantren, akan dilelang oleh sebuah bank. Kompleks itu ditawarkan kepada Al-Muayyad untuk pengembangan. Setelah cukup dibahas oleh pimpinan yayasan dan dikonsultasikan kepada para sesepuh, pada tanggal 23 Nopember 1994, Al-Muayyad resmi membeli kompleks seluas sekitar 2.050 m2 itu seharga Rp 123.000.000,00 dihadapan notaris Ny. H. Nur Fariah Latief, SH.
Di kompleks tersebut berdiri 48 kamar santri, sebuah musholla, pemondokan pengasuh, aula, 3 kamar ustadz, halaman olah raga, dan dapur. Dan mulai tahun ajaran 1995/1996 kompleks Windan dipergunakan untuk kegiatan pesantren yang dalam jangka panjang akan menjadi pondok pesantren yang lengkap dengan sekolah dan madrasah.
masjid al-muayyad

asrama putri al-muayyad


asrama putra al-muayyad


sumber: http://almuayyad.org/sejarah

Biografi Kyai Umar Al-Muayyad Solo

Wasiate Kyai Umar maring kitaMumpung sela ana dunya dha mempengo
Mempeng ngaji ilmu nafi’ sangu mati
Aja isin aja rikuh kudu ngaji


Syair yang diambil dari Sholawat Wasiat tersebut, akan menyambut para peziarah saat masuk ke makam KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta. Kiai Umar yang lahir pada 5 Agustus 1916 merupakan seorang tokoh ulama kharismatik dari Solo.

Menurut pengasuh Pesantren Al-Inshof Mojosongo, KH Abdullah Sa’ad, Kiai Umar termasuk sebagai salah satu ‘cagak bumi’ pada zamannya (di era 1980-an,-red). “Kiai Maksum Lasem suatu ketika pernah menyebut, ada beberapa ulama yang menjadi ‘cagak bumi’, mereka yakni KH Arwani Amin Kudus, KH Abdul Hamid Pasuruan, Habib Anis Al-Habsyi Solo dan KH Umar Abdul Mannan Solo,” ungkapnya pada sebuah kesempatan.

Tidak hanya itu, KH Mubasyir Mundzir Bandar Kidul Kediri, juga pernah menyatakan bahwa Kiai Umar yang seumur hidupnya selalu menjaga wudhu dan shalat berjamaah itu adalah salah seorang anggota wali autad, yakni tingkatan yang setiap masa anggotanya hanya empat orang.

Berawal dari Sebuah Langgar

Dari beberapa kesempatan kami berziarah ke sana, makam Kiai Umar setiap hari hampir tak pernah sepi dari peziarah. Apalagi ruang kecil di sebelah barat masjid pondok itu, sering digunakan untuk tempat mengaji para santri. Para santri meneruskan apa yang telah dirintis oleh Kiai Umar, sejak puluhan tahun yang lalu. Seperti halnya para santri, sejatinya Kiai Umar pun meneruskan apa yang telah dibangun oleh para pendiri.

Dahulu, sebelum berdiri pondok dan masjid, kegiatan pengajian yang dipimpin KH Abdul Mannan masih dipusatkan di sebuah langgar panggung di kampung Mangkuyudan. Pada tahun 1937, Kiai Abdul Mannan memanggil Umar muda yang tengah nyantri, untuk pulang kampung, menggantikan mengelola langgar.

Pada perkembangannya, setelah dipegang Kiai Umar langgar panggung tersebut semakin ramai dengan para santri yang berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan, bagian bawah langgar pun tak cukup untuk menampung tempat tinggal para santri.

Kiai Umar kemudian memohon kepada sang ayah untuk membeli sebagian tanah milik KH Ahmad Shofawi. Pada awalnya KH Ahmad Shofawi keberatan menjual tanah karena beliau sendiri tidak berkeberatan tanahnya digunakan untuk pondok pesantren. Namun akhirnya KH Ahmad Shofawi bisa memahami alasan rencana pembelian tanah oleh keluarga KH Abdul Mannan.

Lalu dibelilah sebidang tanah untuk pondok tak jauh dari  Langgar Panggung. Untuk membeli tanah ini, KH Abdul Mannan menjual sebidang tanah milik beliau yang terletak di sebelah selatan Stasiun Purwosari dekat Kantor Pajak sekarang. Pondok itu kemudian dibangun pada tahun 1947 dan diberi nama Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan yang di sebelah baratnya telah berdiri Masjid Al-Muayyad seluas 183 meter persegi yang merupakan wakaf dari KH Ahmad Shofawi. Masjid ini dibangun pada tahun 1942 dan status wakafnya tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Laweyan Surakarta. 

Sebuah sumber, sebagaimana ditulis Muhammad Ishom dalam Majalah Serambi Al-MuayyadEdisi ke-6 (2014), menyebutkan tanah yang dibeli KH Abdul Mannan dari KH Ahmad Shofawi adalah seluas 400 meter  persegi.  Sumber lain menyebutkan sebuah dokumen berupa Surat Hak Tanah Persil No. 423 menyatakan tanah di Mangkuyudan, tepatnya di Kampung Todipan Kalurahan Purwosari, seluas 2.550 meter persegi dimiliki secara berdua antara KH Ahmad Shofawi dan KH Umar.

Pada tahun 1983 dokumen tersebut telah dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik No. 797 atas nama 12 orang yang mencakup ahli waris KH Ahmad Shofawi dan KH Ahmad Umar. Ahli waris KH Ahmad Umar telah sepakat mewakafkan tanah yang dibeli KH Abdul Mannan untuk Pondok Pesantren Al-Muayyad seberapapun luasnya meskipun hingga kini proses sertifikasi tanah wakaf belum selesai dan akan terus diupayakan.

Pendidik Handal

Sebelum pulang kampung, Kiai Umar sempat nyantri di beberapa pesantren diantaranya Termas Pacitan, Mojosari Nganjuk, Popongan Klaten dan Krapyak Yogya. Di pesantren yang terakhir disebut inilah, Kiai Umar mendapatkan silsilah keilmuannya di bidang Al-Qur’an, yang bersambung mulai dari pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta KHR Moehammad Moenawwir hingga Nabi Muhammad saw.

Oleh sebab itulah, sebutan Pesantren Al-Qur'an juga melekat kuat pada Pesantren Mangkuyudan, sebutan lain Al-Muayyad, hingga sekarang. Pada zaman itu, Kiai Umar menjadi rujukan utama bagi santri-santri yang ingin mengaji Al-Qur'an, baik bin nazdor ataupun bil ghoib. Kepada Kiai Umar, santri-santri di berbagai penjuru untuk menyambungkan sanad dan ngalap berkah Kiai Moenawwir Krapyak.

Meski demikian, tidak semua santri mendapatkan ijazah atau sanad langsung dari Kiai Umar. Sebab, Kiai Umar terbilang sangat berhati-hati. Meski murid tahfizhul Qur'an-nya ribuan, namun tidak banyak santri diketahui telah mendapatkan ijazah sanad Al-Qur’an. Hal ini disebabkan persyaratan ketat yang ditetapkan sang kiai yang meliputi akhlak, ketekunan dalam beribadah serta kesungguhan dalam mengaji.

Dalam mengajar Al-Qur’an, selain telaten dalam mendidik Kiai Umar juga memiliki cara tersendiri. Hal ini diungkapkan salah satu keponakannya, KH M. Dian Nafi’. Menurut Kiai Dian yang kini mengasuh Pesantren Al-Muayyad cabang Windan Sukoharjo, ia begitu kagum dengan cara menanamkan hafalan Al-Qur’an Kiai Umar kepada para saudaranya yang masih kecil.

“Cara mendidik Mbah Umar kepada adik-adiknya seperti sedang ‘bermain’. Sehingga, adik-adik beliau sudah dapat hafal Al-Qur’an dalam waktu usia yang relatif masih kecil. Saya menyebut metode tersebut dengan istilah bahasa abjektif. Yakni, bahasa tanpa gramatika, seperti bahasa bayi, tak terstruktur tapi dapat dipahami orang di sekitarnya. Bahkan, memiliki muatan pesan yang universal,” terang Wakil Rais Syuriyah PWNU Jateng itu.

Dari metode tersebut ikut memberi andil, sehingga adik-adiknya di kemudian hari juga menjadi para ahli Al-Qur’an. Mereka antara lain KH M Nidhom (Pendiri Pesantren di Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Solo) dan KH Ahmad Jisam (Pendiri Pesantren Gondang Sragen).

Pada kurun waktu hingga awal 70-an, lahir pula generasi santri yang kelak menjadi ulama besar di zamannya, diantaranya KH Salman Dahlawi (Pesantren Al-Manshur Popongan/Mursyid Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah), KH Baidlowi Syamsuri (Pengasuh Pesantren Sirojut Tholibin Brabu), KH Nuril Huda, KH Ma’mun Muro’i dan lain sebagainya.

Ikut Membesarkan NU

Di tengah kesibukannya dalam mengajar, Mbah Umar ikut memperhatikan keberlangsungan jam’iyyah Nahdlatul Ulama, khususnya di wilayah Soloraya. Di masa kepemimpinannya, Al-Muayyad bergabung menjadi anggota Rabithah al Ma’ahid al Islamiyyah Nahdlatul Ulama dengan Nomor Anggota: 343/B Tanggal: 21 Dzul Qa’dah 1398 H/23 Oktober 1978 M di bawah pimpinan KH Achmad Syaikhu.

Wakil Ketua PCNU Surakarta H Hari Mas’udi menuturkan meskipun Mbah Umar tidak pernah mengemban amanah di kepengurusan NU secara struktural, namun dukungannya kepada NU begitu luar biasa.

“Salah satu kisah, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi, setelah istikharah Mbah Umar langsung mengganti plang Masyumi yang tadinya dipasang di sekitar kompleks pondok dengan plang NU,” ujarnya.

Pun ketika terjadi kemelut pada NU, yang berujung pada terbelahnya NU menjadi “dua kubu”, yakni “kubu Situbondo” dan “kubu Cipete”, sebelum akhirnya diputuskan untuk kembali ke khittah 1926 pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Kiai Dian Nafi’ yang kala itu masih muda, bertanya kepada Kiai Umar perihal kejadian ini. Pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh Kiai Umar sebagaimana dikisahkan oleh KH Yahya Cholil Staquf.

“Orang itu pangkatnya lain-lain. Ada yang pangkatnya memikirkan NU, ada yang pangkatnya mengurusi NU. Lha kita ini baru sampai pangkat mengamalkan NU. Ya sudah, bagian kita ini saja kita laksanakan. Mengajar santri, ngopeni orang kampung. Jangan sampai terlalu banyak orang memikirkan dan ngurusi NU tapi langka yang mengamalkannya,” jawab Kiai Umar.

KH Ahmad Umar wafat pada tanggal 11 Ramadhan 1400 H/24 Juli 1980 M, meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Shofiyyah Umar. Atas permintaan dua sahabatnya, Kiai Abdul Ghoni Ahmad Sajadi dan H. Wongso Bandi, jenazah sang allamah dimakamkan di belakang masjid Al Muayyad, di tengah kompleks pesantren yang didirikannya.

Salah seorang santri bercerita, dua bulan sebelumnya, kedua orang yang dekat dengan Kiai Umar itu sempat berbincang bahwa biasanya pesantren akan pudar sinarnya bila kiainya wafat tanpa meninggalkan anak. Untuk “mengatasi” hal itu berdasarkan petunjuk para kiai sepuh, hendaknya jasad Kiai Umar dimakamkan di kompleks pesantren. Diibaratkan, liang lahat sang kiai akan menjadi “bintang” yang tetap memancarkan cahayanya hingga tidak memudarkan pesantren yang ditinggalkannya.

Sumber : nu.or.id